Tentang Wabah


*KEUTAMAAN WABAH THAUN*

Lama saya merenung, mengapa Imam Ibnu Hajar memberi judul bukunya, "Keutamaan Wabah Thaun". Ini seperti andaikata saya membuat judul tulisan ini, "Keutamaan Wabah Korona."  Kira-kira bagaimana  reaksi Anda? 

Padahal thaun adalah wabah yang sangat mengerikan. Orang sore terkena, paginya bisa meninggal. Begitu pun yang terkena wabah pagi hari, sorenya bisa meninggal. Konon, dua putra Imam Ibnu Hajar termasuk yang wafat karena thaun. Saking dahsyatnya, dulu para sahabat pernah menyalatkan jenazah puluhan korban wabah thaun dalam sekali shalat jenazah.

Wabah thaun inilah yang sering dikiaskan dengan pandemi Korona. Walaupun jika dicari perbedaan, banyak sekali perbedaannya. Namun saya tidak akan membahas detail-detail masalah di atas. Butuh waktu. Butuh kecermatan untuk membahasnya. Selain bekal yang cukup dalam ilmu. Biar orang lain yang membahas, apakah Korona sama dengan thaun? Ataukah lebih dahsyat? Atau lebih ringan.

Saudara-saudariku. Membaca judul buku karya Ibnu Hajar itu mengingatkan kita betapa pentingnya bersikap positif dalam menghadapi sakit. Menguatkan aspek _raja'_ ( harapan ) lebih dianjurkan ketika kita dalam kondisi sakit. Jangan lupa, di setiap musibah ada karunia. Di setiap _mihnah_ ada _minhah_.

*Penjudulan buku yang ditulis itu menunjukkan perbedaan sikap mencolok antara orang beriman dan tidak beriman. Masak orang beriman sikapnya sama persis dengan yang tidak beriman? Tentu tidak!*

Di dalam wabah ada fadhilah, itu kesan yang bisa kita tangkap dari judul buku Imam Ibnu Hajar. Itu juga mengingatkan kita kepada sikap mengherankan seorang sahabat mulia, Abu Ubaidah bin Jarah _radhiyallahu  anhu_. Beliau berdoa agar mendapat kesyahidan melalui thaun dan Allah pun mengabulkannya, alih-alih takut secara berlebihan!

Saat berkunjung kepada seorang yang sakit demam, Nabi mengatakan, _"Laa ba'sa alaika thahuurun insyaallah."_ Engkau tidak apa-apa, sakit ini insyaallah membersihkan dosa.

Sayang, cara pandang positif itu tidak diterima oleh si baduwi. "Nggak papa bagaimana?! Ini demam tinggi yang menimpa orang tua bangka dan akan mengantarkannya ke kuburan!"

Karena mendapat jawaban bernada negatif  seperti itu, Nabi pun berkata, _"Na'am idzan!"_ Ya sudah kalau begitu! Apa yang kau sangkakan, itulah yang akan terjadi!

Dan besok paginya baduwi tua itu pun meninggal dunia.

Dalam soal penularan, misalnya, Ibnu Hajar membagi empat sikap. Yang pertama sikap orang-orang kafir. Yang kedua sikap sebagian orang muslim, tapi lemah argumennya. Sedangkan ketiga dan keempat adalah sikap yang diambil sekaligus diperselisihkan di antara para ulama. 

Orang kafir menganggap penularan otomatis terjadi jika seorang yang sakit melakukan kontak dengan orang yang sehat. Tidak bisa tidak. Pasti menular. Inilah yang ditolak oleh Nabi _shalallahu alaihi wa sallam_ dalam hadits riwayat Bukhari,

لا عدوى

"Tidak ada penularan!"

Sebagian sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah unta yang kudisan ketika bercampur dengan unta-unta sehat, membuat unta-unta itu juga kudisan?"

Nabi balik bertanya, "Kalau begitu, siapa yang menularkan kepada unta pertama?"

Dalam penjelasannya, Ibnu Hajar mengatakan bahwa keyakinan tentang penularan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliah itulah yang dinafikan oleh Rasulullah. Akan tetapi, sebenarnya penularan itu hanya terjadi dengan izin Allah, menurut salah satu pendapat yang dikemukakan oleh banyak ulama. Adapun pendapat para ulama lain, yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar adalah bahwa Allah menciptakan penyakit pada unta kedua sebagaimana Allah telah menciptakannya pada unta pertama.

Jadi, marilah bersikap proporsional. Seimbang. Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya. Jadi, mau bersikap positif atau negatif, itu pilihan. 

Umumnya, kita butuh menyeimbangkan antara _khauf_ dan _raja'_. Antara takut dan harap kepada Allah. Namun, dalam kondisi sekarang, saat banyak orang sakit, kita justru butuh menguatkan harapan kepada Allah. Itu pula tampaknya yang diinginkan  oleh Imam Ibnu Hajar. Menguatkan mental dalam menghadapi wabah. Suport mental. Beliau membahasakannya dengan _badzlul ma'un_. 

Meskipun kondisi sedang banyak orang sakit, belum tentu kita sakit. Belum tentu Anda sakit. Kalau pun sakit, sebagaimana yang dialami oleh banyak orang, bukankah sebagian besar dari mereka sembuh? Bukankah yang sembuh jauh lebih banyak daripada yang meninggal? Kalau pun ada di antara saudara atau sahabat kita wafat, mudah-mudahan wafatnya dalam keadaan husnul khatimah. Sakit yang diderita sebelum wafat itu menjadi penggugur dosa-dosa.

Silakan berikhtiar dengan cara yang Anda yakin kebenarannya sebagai ikhtiar. Sudah banyak saran dari sana dan dari sini, bagaimana berikhtiar sehat di masa sekarang. Saya tidak akan menambah saran untuk Anda. Kenyataannya, hari ini kita diberi sehat dan usia. Banyak yang pernah sakit kemudian sembuh. Tentu semua itu telah mengajarkan kepada  kita ikhtiar apa yang sebaiknya kita ambil.

Selebihnya, semua sudah diatur Allah. Tidak ada yang bisa menunda atau mempercepat kematian. Tidak penyakit. Tidak obat. Tidak pula dokter. Tidak apa pun juga. Dan tidak siapa pun juga.

_Wallahu a'lam_.

*Hawin Murtadlo Bukhori*

Komentar

Populer

Insya Allah, In Shaa Allah, In Syaa Allah atau ....?

Sebelum Engkau Halal Bagiku

The Centong Hunter (Awwab dan Empatinya)