Rumah Ibrahim


Ibrahim. Bukan manusia biasa. Bukan pula Nabi biasa. Ia adalah ayah para Nabi. Rasul yang terpilih, salah satu dari Rasul Ulul 'Azmi.

Namanya Allah abadikan sebagai nama sebuah surah dalam kitab paling agung, Al-Quran. Kisahnya bertebaran dalam surah-surah lain. Tentang masa kecilnya, keshalihannya, kepahlawanannya, keluarga dan masa tuanya. Setiap jejak kehidupannya adalah inspirasi. Menjadi bekal kehidupan dan panutan kita hingga kini.

Sebut saja prosesi kurban di hari Idul Adha, melontar jumrah, sampai prosesi Sa'i yang diambil dari kisah beliau dan keluarganya.

Ibrahim. Allah menempanya dengan kelahirannya di tengah masyarakat kafir, dengan pemimpin kafir, bahkan ayah yang kafir lagi kejam. Ancaman untuk keimanannya datang dari orang yang paling disayanginya, ayahnya sendiri.

Kelembutan hatinya membuatnya tetap mendoakan sang Ayah, agar Allah mengampuninya. Namun keimanan Ibrahim di atas segalanya. Ketika ia tahu bahwa tak ada ampunan bagi mereka yang meninggal dalam kekufuran, Ibrahim pun berhenti. Mendengar dan taat.

Ibrahim. Allah menempanya dengan pertanyaannya tentang iman. Ketika ia mempertanyakan keberadaan-Nya kepada bintang, bulan dan matahari. Lalu bertambahlah keimanannya ketika ia saksikan sendiri bagaimana Allah membangkitkan kembali burung yang sudah disembelih. Dan semakin kokoh tak goyah ketika Allah menyelamatkannya dari api besar membara.

Dengan tempaan sedemikian, ditambah lagi keistimewaannya sebagai Nabi dan Rasul yang dibimbing penuh oleh Allah, bebas dari dosa dan salah, maka menjadi sangat menarik jika tiap untai kata-katanya kita renungkan, termasuk doanya yang diabadikan oleh Allah dalam ayat berikut:

رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرِ ذِى زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ ٱلْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجْعَلْ أَفْـِٔدَةً مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهْوِىٓ إِلَيْهِمْ وَٱرْزُقْهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

QS Ibrahim: 37.

Rabbanaa. Tuhan kami, pemelihara kami. Begitulah Ibrahim memulai doanya. Merayu.

Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (baitullah) yang dihormati, agar mereka mendirikan shalat.

Dapatkah kita membayangkan bagaimana Ibrahim menempatkan keluarganya terkasih di tempat yang tidak ada tanaman? Artinya, di sana juga tidak ada sumber utama kehidupan yaitu air. Fasilitas paling primer dalam kehidupan pun tidak tersedia! Hanya ada satu fasilitas di sana: rumah Allah. Satu tujuannya, agar anak keturunannya mendirikan shalat. Begitu tingginya keimanan Ibrahim sehingga tidak ada apapun yang lebih penting baginya untuk keturunannya selain kedekatan mereka dengan Allah.

Bandingkan dengan diri kita saat ini. Apa yang kita pikirkan saat pertama kali memilih tempat tinggal? Ya, fasilitas. Fasilitas air bersih, pemanas air, kolam renang, taman bermain. Lokasi dekat dengan pusat perbelanjaan, sekolah, pusat bisnis. Tentu tidak ada yang salah dengan itu semua. Namun akan lebih baik jika kita meniru sang ayah para Nabi dalam menentukan prioritas, bahwa yang terpenting adalah keberadaan rumah Allah di dekat tempat tinggal kita.

Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka.

Barulah setelah itu Ibrahim meminta kepada Allah agar keluarganya mendapat tempat yang baik di tengah masyarakat. Setelah hubungan keluarga dengan Allah, barulah Ibrahim mendoakan kebaikan untuk keluarganya di antara manusia.

Dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan.

Setelah hubungan dengan Allah dan manusia, akhirnya Ibrahim berdoa tentang rizki dunia berupa buah-buahan untuk keluarganya. Jika kita cermati, ada yang seolah-olah tidak terhubung antara keberadaan keluarganya di tanah gersang yang tidak berpohon, dengan buah-buahan. Seakan sebuah permintaan yang mustahil. Namun bukan Ibrahim namanya jika keimanannya tidak melampaui keadaan. Ibrahim tidak mengenal sebab-akibat. Ia hanya mengenal keajaiban dalam iman. Ia tidak perlu melihat pohon untuk meminta buah, karena ia yakin bahwa Allah mampu mengabulkan doanya dengan cara-Nya.

Mudah-mudahan mereka bersyukur.

Inilah penutup yang indah dari doa seorang ayah yang shalih. Inilah hakikat dan tujuan rezeki yang sesungguhnya. Rasa syukur. Betapa banyak kita saksikan anak-anak yang dilimpahi materi namun menyia-nyiakannya. Materi yang justru menjauhkan mereka dari Allah, bahkan merusak pribadi mereka. Na'udzubillah.

Beranjak dari Nabi Ibrahim yang mulia, mari kita tadabburi doa yang lain. Dari sosok perempuan yang sangat istimewa: Asiyah istri Fir'aun.


وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim”. QS At-Tahrim: 11.

Perhatikan bagaimana Asiyah meminta. Rumah di syurga adalah segalanya. Rumah di syurga sudah tentu keindahan dan kenikmatan tiada batas. Namun Asiyah mendahuluinya dengan kata 'indaka, di sisiMu. Asiyah mendahulukan kenikmatan bertetangga dengan Allah, sebelum kenikmatan tiada batas di rumah di dalam syurga. MaasyaAllah.

Bagaimana dengan kita?

Disarikan dari materi Parenting Nabawiyah yang disampaikan oleh ustadz Elvin Sasmita hafizhahullah.

Komentar

Populer

Insya Allah, In Shaa Allah, In Syaa Allah atau ....?

Sebelum Engkau Halal Bagiku

The Centong Hunter (Awwab dan Empatinya)