Anak: Cangkir yang Kosong

Alhamdulillah, beberapa hari ini Allah swt mentakdirkan saya bertemu dan membersamai seorang anak. Anak yang unik, yang kisahnya membangkitkan kasihan sekaligus rasa sayang. Tapi sebagian perilakunya benar-benar menguji kesabaran.

Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika usianya baru 5 tahun, ayahnya yang sudah meninggalkannya dan ibunya untuk mencari nafkah tiba-tiba kembali dengan kabar bahwa ia sudah menikah lagi. Sang ibu yang tidak bisa menerima kenyataan pun memutuskan meminta cerai, lalu menikah lagi. Lalu serentet ujian menerpanya tanpa henti. Ayah tirinya dipenjara karena memukuli ibunya. Lalu ibunyabercerai lagi, dan menikah untuk yang ketiga kali. Lalu, lalu, lalu,, saya tidak bisa membayangkan hidup seperti apa yang dijalaninya.

Dia di tengah-tengah kami, seperti pemandangan aneh.
Ketika ia mengajak temannya bercanda dengan pura-pura mencekik, tangan terkepal mengancam. Sedikit-sedikit mencari perhatian dengan menendang, melempar, memukul apa-apa yang ada di dekatnya, bahkan memukulkan kepalanya sendiri. Miris. Tapi sejujurnya saya tidak bisa apa-apa dan cenderung sangat kesal.

Syukurlah ibu saya masih memiliki stok kesabaran yang berlebih. Menghibur saya, mengingatkan bahwa bahagianya saya, adik-adik dan anak-anak saya. Yang setiap hari mendapat peluk dan cium tanpa diminta, mengenal "I love you Mama", "Uhibbuk Baba" sebagai sapa. Entah apakah dia pernah mendapatkannya dari orangtuanya, ayah tiri pertama maupun keduanya.

Mungkin memang ancamanlah sapa sehari-harinya. Pukulan, lemparan, dan kekasaran lah yang masuk ke dalam 'cangkir' jiwanya. Sejatinya, cangkir tidaklah mengeluarkan kecuali isinya. Ketika kita mengisi cangkir dengan susu, susu lah yang bisa kita teguk, tak akan kopi. Maka, apa yang dia dapatkan sehari-harilah yang bisa dia keluarkan ketika berinteraksi dengan teman-temannya.

Lalu ibu saya, 'mengancam'nya dengan 'ancaman' unik. Kelitik.

Ya, kelitik.

"Kalau kamu masih pukul teman-teman, marah-marah, berbicara kotor, saya kelitikin kamu ya!!"

Diapun tergelak. Semakin tergelak ketika ibu saya menggelitiki perutnya. Tertawa-tawa.

Lalu senyum saya pun semakin terkembang, ketika hari ini saya saksikan, ia bercanda dan menggelitiki temannya! Ia tertawa lepas. Tak ada lagi sorot mata tajam dari sosok kecil itu.

Tanpa banyak kata, (alhamdulillah) ibu saya berhasil mengisi 'cangkir' jiwa itu dengan sesuatu yang lebih manis. Sangat manis.

Semoga selalu menjadi anak manis ya, shalih.. Engkau dan teman-temanmu, hingga ke syurga. Aaamiin :)

Komentar

Populer

Insya Allah, In Shaa Allah, In Syaa Allah atau ....?

Sebelum Engkau Halal Bagiku

The Centong Hunter (Awwab dan Empatinya)