Pengen Keren..?? Nikah Yuuk.. ;)
Tulisan seorang teman nih.. :)
Harapan tanpa iman adalah kekecewaan yang menunggu waktu..
Kebahagiaan tanpa barokah bagai bayang-bayang tanpa cahaya..
Orang suci, menjaga kesuciannya dengan pernikahan..
Menjaga pernikahannya dengan kesucian..
MENIKAH adalah keindahan, kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang menganggapnya sebagai rutinitas tak bermakna. Menikah, dakwah dan jihad adalah seiring sejalan, kecuali bagi orang yang terkacaukan logika dan nalarnya.
Menikah adalh bagian dari 2hal ini, kecuali bagi yang memandangnya sebagai buah yang di petik atau rehat yang di ambil setelah lama menjadi aktivis bujang..
Salah seorang ustadz pernah bercerita. Ketika beliau mendengar seorang ikhwah berkata "Saya ingin menikah, insya Allah nanti, setelah mengoptimalkan produktivitas dakwah saya. Ada banyak hal yang belum saya lakukan. Kontribusi dakwah saya masih terlalu kecil. Saya masih jauh dari kualifikasi pemuda yang di gambarkan sebagai jundi dakwah. Apa qt gak malu, yang qt bicarakan pernikahan melulu? Lihatlah pemuda2 seperti Usamah ibn Zaid yang menjadi panglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush'ab Umair yang di usia 20 tahun menjadi duta untuk membuka dakwah di Madinah. Lihatlah Ali bin Abi Thalib.."
Allahu akbar!
Secara pribadi, sang ustadz terkagum pada ghiroh beliau yang setegar gunung. Semoga Allah menguatkannya selalu. Hnya saja, saya pribadi dan sang ustadz pula menganggap bahwa cara berfikir ikhwan itu "berbahaya". Seperti tersirat dari kalimat beliau, seolah ada pertentangan antara produktivitas dakwah dengan pernikahan. Sepertinya, kalau sudah menikah maka kita tidak bisa meneladani Usamah, Mush'ab dan Ali.
Sepertinya sesudah menikah, tidak termungkinkan untuk menjadi aktivis dengan kemuliaan sebagaimana ketika belum menikah. Seolah-olah, puncak prestasi dakwah selalu (hanya bisa) kita raih sebelum menikah..
Sepertinya cara berfikir ini bermula dari persepsi "Menikah dengan seorang akhwat yang sholihah adalah buah dari dakwah".
Pernikahan ini dipersepsikan sebagai terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tidak dianggap sebagai bagian dari dakwah. Pernikahan tidak dianggap sebagai episode tempat dua orang saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan berprestasi dalam dakwah. Seakan pernikahan adalah episode baru yang menjadi tujuan dalam dakwah selama ini. Sekali berarti sesudah itu mati..
Syukurlah, argumen yang beliau bangun sekaligus menolak cara berfikir beliau. Mengutip siroh sahabat, sefaham qt.. Sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah bin Zaid telah menikah dengan Fatimah binti Qois di usia 16 tahun. Sebelum menjadi duta ke Madinah, Mush'ab bin Umair telah menikah dengan Hannah binti Jahsy. Dan Ali bin Abi Thalib telah menjadi menantu Rosul. Mereka telah berjibaku memimpin keluarga, sebelum sukses memimpin dakwah.
Subhanallah...
Nah, mari kita bersedih ketika pernikahan memutuskan keterlibatan saudara-saudara kita dalam dakwah..
Mari kita bersedih ketika pernikahan menumpulkan.
Mari meitikkan air mata jika dengan menikah orang terhalang untuk menjadi orang-orang besar...
Mari kita menangis di hadapan Allah jika pernikahan melenakan manusia dari tugas agung untuk berdakwah dan berjihad di jalanNYA..
Jika demikian, dimana barokah yag sudah seharusnya qt raih..??
'Alaa kulli haal..
Segalanya bermula dari bagaimana cara qt mempersepsi pernikahan. Pernikahan disebut separuh agama, karena ia-nya masalah aqidah. Masalah bagaimana persepsi kita terhadap Allah, diri kita, dan pernikahan itu sendiri. Dan pernikahan juga disebut separuh agama, karena tanpa istri atau atau suami di sisi, banyak perintah Allah di dalam Al-Qur'an belum akan terasa maknanya..
Wallahu a'lam..
Semoga pemahaman ini menjadi awal dari bertambahnya barokah dalam pernikahan kita kelak, terutama dalam produktivitas amal dan jihad di jalanNYA..
Sungguh pernikahan adalah bagian dari 2 hal ini, maka jangan pernah memandangnya sebagai buah yang akan kita petik dan rehat yang akan kita lakukan atas dakwah kita selama ini..
Rehatlah nanti, ketika kaki kita melangkah dan memijak syurga Allah...
Indahnya............ :$
Harapan tanpa iman adalah kekecewaan yang menunggu waktu..
Kebahagiaan tanpa barokah bagai bayang-bayang tanpa cahaya..
Orang suci, menjaga kesuciannya dengan pernikahan..
Menjaga pernikahannya dengan kesucian..
MENIKAH adalah keindahan, kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang menganggapnya sebagai rutinitas tak bermakna. Menikah, dakwah dan jihad adalah seiring sejalan, kecuali bagi orang yang terkacaukan logika dan nalarnya.
Menikah adalh bagian dari 2hal ini, kecuali bagi yang memandangnya sebagai buah yang di petik atau rehat yang di ambil setelah lama menjadi aktivis bujang..
Salah seorang ustadz pernah bercerita. Ketika beliau mendengar seorang ikhwah berkata "Saya ingin menikah, insya Allah nanti, setelah mengoptimalkan produktivitas dakwah saya. Ada banyak hal yang belum saya lakukan. Kontribusi dakwah saya masih terlalu kecil. Saya masih jauh dari kualifikasi pemuda yang di gambarkan sebagai jundi dakwah. Apa qt gak malu, yang qt bicarakan pernikahan melulu? Lihatlah pemuda2 seperti Usamah ibn Zaid yang menjadi panglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush'ab Umair yang di usia 20 tahun menjadi duta untuk membuka dakwah di Madinah. Lihatlah Ali bin Abi Thalib.."
Allahu akbar!
Secara pribadi, sang ustadz terkagum pada ghiroh beliau yang setegar gunung. Semoga Allah menguatkannya selalu. Hnya saja, saya pribadi dan sang ustadz pula menganggap bahwa cara berfikir ikhwan itu "berbahaya". Seperti tersirat dari kalimat beliau, seolah ada pertentangan antara produktivitas dakwah dengan pernikahan. Sepertinya, kalau sudah menikah maka kita tidak bisa meneladani Usamah, Mush'ab dan Ali.
Sepertinya sesudah menikah, tidak termungkinkan untuk menjadi aktivis dengan kemuliaan sebagaimana ketika belum menikah. Seolah-olah, puncak prestasi dakwah selalu (hanya bisa) kita raih sebelum menikah..
Sepertinya cara berfikir ini bermula dari persepsi "Menikah dengan seorang akhwat yang sholihah adalah buah dari dakwah".
Pernikahan ini dipersepsikan sebagai terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tidak dianggap sebagai bagian dari dakwah. Pernikahan tidak dianggap sebagai episode tempat dua orang saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan berprestasi dalam dakwah. Seakan pernikahan adalah episode baru yang menjadi tujuan dalam dakwah selama ini. Sekali berarti sesudah itu mati..
Syukurlah, argumen yang beliau bangun sekaligus menolak cara berfikir beliau. Mengutip siroh sahabat, sefaham qt.. Sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah bin Zaid telah menikah dengan Fatimah binti Qois di usia 16 tahun. Sebelum menjadi duta ke Madinah, Mush'ab bin Umair telah menikah dengan Hannah binti Jahsy. Dan Ali bin Abi Thalib telah menjadi menantu Rosul. Mereka telah berjibaku memimpin keluarga, sebelum sukses memimpin dakwah.
Subhanallah...
Nah, mari kita bersedih ketika pernikahan memutuskan keterlibatan saudara-saudara kita dalam dakwah..
Mari kita bersedih ketika pernikahan menumpulkan.
Mari meitikkan air mata jika dengan menikah orang terhalang untuk menjadi orang-orang besar...
Mari kita menangis di hadapan Allah jika pernikahan melenakan manusia dari tugas agung untuk berdakwah dan berjihad di jalanNYA..
Jika demikian, dimana barokah yag sudah seharusnya qt raih..??
'Alaa kulli haal..
Segalanya bermula dari bagaimana cara qt mempersepsi pernikahan. Pernikahan disebut separuh agama, karena ia-nya masalah aqidah. Masalah bagaimana persepsi kita terhadap Allah, diri kita, dan pernikahan itu sendiri. Dan pernikahan juga disebut separuh agama, karena tanpa istri atau atau suami di sisi, banyak perintah Allah di dalam Al-Qur'an belum akan terasa maknanya..
Wallahu a'lam..
Semoga pemahaman ini menjadi awal dari bertambahnya barokah dalam pernikahan kita kelak, terutama dalam produktivitas amal dan jihad di jalanNYA..
Sungguh pernikahan adalah bagian dari 2 hal ini, maka jangan pernah memandangnya sebagai buah yang akan kita petik dan rehat yang akan kita lakukan atas dakwah kita selama ini..
Rehatlah nanti, ketika kaki kita melangkah dan memijak syurga Allah...
Indahnya............ :$
saya sepakat pacaran setelah nikah...saya bayangkan alangkah indahnya pernikahan yang dibangun atas dasar iman
BalasHapushemm!
BalasHapusAtas dasar Iman juga cinta!
jangan lupa fitrah, mas Yaqon!
Hati siapapun menolak melakukan hal yang tidak disukainya.
hemm!
BalasHapusAtas dasar Iman juga cinta!
jangan lupa fitrah, mas Yaqon!
Hati siapapun menolak melakukan hal yang tidak disukainya.
http://sayapimpian.multiply.com/journal
Cinta oh cinta..
BalasHapusStuju ma 'Anonim'.
Tp bukan dgn pacaran kan? ;)
Eh kalau pacaran mah, ilang unsur 'iman'nya ya..? :x
Ayo Menikah! :x
menikah?siapa yang tak ingin untuk dapat melengkapi dien....tapi mengapa setelah dekat usia...terkadang manusia diambang ragu antara ya dan tidak...:-/
BalasHapusfla,salam kenal,sangat menikmati setiap mengunjungi situsmu...boleh saya kutip beberapa tulisanmu yang bikin hatiku terkikis?trims yaa
yaelah nenk... yang namanya ujian keimanan itu tidak semudah membalik telapak tangan, dan begitulah juga yang namanya memutuskan untuk menikah!
BalasHapusSalam ziarah dari malaysia..
BalasHapusUkhti, interesting article...mmg slalunya pernikahan menjadi titik noktah kepada ahli gerakan utk terus maju ke hadapan terutamanya bagi muslimat..Gi mana mau mengatasi permasalahan ini..Mungkin ukhti dapat berkongsi berkenaan permasalahan ini dgn lbh mendalam..Saya tidak tahu bagaimana keadaannya di indonesia, tapi di malaysia, seperti satu trend, muslimat akan terhenti langkahnya setelah dia bernikah (bukan semua)...apapun, syukran, saya dapat sesuatu dari artikel ini...^_^
@ LemonGrass:
BalasHapusSalam ziarah kembali..
Memang karena seringnya itu terjadi (langkah yang terhenti setelah menikah), itu jadi terlihat seperti trend. Padahal tidak begitu.
Bagi yang sudah menikah pasti bisa merasakan betapa dunia mereka menjadi sangat sangat berbeda. Proses adaptasi pun terbilang sangat sulit. Sehingga menjadi orang yang seperti dulu (sebelum menikah) juga tantangan yang cukup berat. Tapi seiring berlalunya waktu, insya Allah jika azzam masih tertanam kuat, pada saatnya bisa kembali bergerak tanpa mengabaikan perannya sebagai istri dan ibu.. Insya Allah..